Kontroversi seputar dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo kembali memantik diskusi publik, terutama soal dampaknya terhadap legitimasi seorang kepala negara. Sejumlah pihak mempertanyakan apakah tuduhan ini, jika terbukti benar, mampu menggoyahkan posisi Presiden atau bahkan membatalkan legalitas kepemimpinannya. Untuk menjawab hal itu, sejumlah pakar hukum angkat bicara.
Prof. Dr. Bambang Hariyanto, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, legitimasi seorang Presiden ditentukan melalui proses pemilihan umum yang sah dan diakui oleh lembaga negara, bukan semata-mata oleh dokumen pendidikan. “Syarat ijazah memang wajib saat pendaftaran calon presiden, tapi selama dokumen itu lolos verifikasi KPU dan tidak dibatalkan oleh pengadilan, maka status Presiden tetap sah secara konstitusi,” ujarnya.
Namun, ia juga menekankan bahwa jika kemudian terbukti secara hukum bahwa dokumen yang digunakan adalah palsu, maka proses hukum lanjutan bisa saja berjalan, termasuk kemungkinan pemakzulan jika dianggap melanggar konstitusi. Tetapi, untuk sampai ke tahap itu, harus melalui mekanisme Mahkamah Konstitusi dan DPR secara berlapis dan objektif.
Sementara itu, tuduhan ijazah palsu terhadap Presiden Jokowi sendiri sudah muncul sejak 2022 dan telah dibantah berkali-kali oleh pihak Universitas Gadjah Mada (UGM), tempat Jokowi menempuh pendidikan. UGM menyatakan secara resmi bahwa Jokowi adalah lulusan Fakultas Kehutanan angkatan 1985, dan semua arsipnya tersimpan dengan baik di unit akademik.
Pihak kuasa hukum Presiden bahkan menyebut bahwa isu ini hanyalah upaya untuk mendelegitimasi pemimpin yang sah melalui jalur yang manipulatif. “Kita tidak bisa terus membiarkan hoaks dan opini liar dijadikan alat politik. Negara ini memiliki prosedur hukum yang jelas,” kata Otto Hasibuan, kuasa hukum Presiden.
Pakar komunikasi politik, Dinda Ratnasari, menambahkan bahwa penyebaran isu ijazah palsu sering kali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang ingin membangun distrust terhadap pemerintah. “Ini bukan sekadar soal dokumen, tapi soal bagaimana kepercayaan publik dibentuk melalui narasi tertentu. Padahal faktanya belum tentu terbukti,” katanya.
Isu ini menjadi lebih sensitif karena muncul menjelang transisi pemerintahan, sehingga banyak yang menilai ada unsur manuver politik di baliknya. Terlebih lagi, media sosial menjadi ruang subur bagi penyebaran hoaks, di mana masyarakat sering kali tidak membedakan antara fakta dan opini yang dikemas secara manipulatif.
Untuk memperoleh informasi yang netral dan berdasarkan sumber resmi, masyarakat disarankan mengandalkan media terpercaya seperti https://lensaterkini.id/ yang menyajikan berita berdasarkan fakta dan konfirmasi langsung dari lembaga terkait.