Myanmar telah lama menjadi pusat perhatian dunia, terutama setelah terjadinya kudeta militer trisula88 pada Februari 2021 yang menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi dan memicu kekerasan serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang meluas. Kekerasan ini tidak hanya mengarah pada pembunuhan warga sipil, tetapi juga pada penghancuran kebebasan sipil, penindasan terhadap kelompok etnis minoritas, dan pelanggaran hak politik serta sosial. Dalam konteks ini, respons dari negara-negara ASEAN (Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara) dan komunitas internasional menjadi sangat penting untuk memahami dinamika politik dan HAM di Myanmar. Artikel ini akan membahas isu HAM yang terjadi di Myanmar dan bagaimana ASEAN serta komunitas global meresponsnya.
Isu HAM di Myanmar: Latar Belakang
Setelah kudeta militer pada 1 Februari 2021, Myanmar memasuki periode kekacauan yang tidak hanya berdampak pada stabilitas politik, tetapi juga pada hak asasi manusia. Militer Myanmar, yang dikenal dengan nama Tatmadaw, menggunakan kekuatan militer untuk menindak protes damai yang dilakukan oleh masyarakat sipil dan organisasi prodemokrasi. Bentrokan dengan pihak berwenang semakin intensif, dengan penggunaan senjata api dan kekerasan lainnya terhadap pengunjuk rasa. Ribuan orang tewas atau terluka dalam aksi-aksi protes yang meluas di seluruh negeri.
Di samping itu, situasi di negara bagian Rakhine, yang sudah lama dikenal dengan ketegangan etnis dan agama antara komunitas Rohingya dan mayoritas Buddha, semakin memburuk setelah operasi militer besar-besaran pada 2017. Ratusan ribu pengungsi Rohingya melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan, termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran desa-desa. Isu ini terus berlanjut dalam konteks kudeta 2021, dengan laporan pelanggaran HAM yang semakin meningkat, baik terhadap kelompok Rohingya maupun etnis minoritas lainnya.
Respons ASEAN
ASEAN, sebagai organisasi yang terdiri dari 10 negara anggota Asia Tenggara, memiliki peran penting dalam mengelola stabilitas kawasan. Namun, respons ASEAN terhadap krisis Myanmar sering kali dipandang lamban dan terbatas. Pada awal kudeta, ASEAN mengeluarkan pernyataan yang mengutuk kekerasan dan menyerukan dialog antar pihak-pihak yang bertikai, tetapi tidak ada langkah konkret yang diambil untuk menghentikan pelanggaran HAM atau memulihkan pemerintahan yang sah.
Pada April 2021, ASEAN mengadakan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) untuk membahas situasi di Myanmar, yang menghasilkan lima poin konsensus. Konsensus ini mencakup seruan untuk penghentian kekerasan, dialog inklusif antar pihak yang bertikai, dan kunjungan utusan khusus ASEAN ke Myanmar untuk memfasilitasi perdamaian. Namun, implementasi dari konsensus ini sangat terbatas. Militer Myanmar tidak menunjukkan kemauan untuk mengimplementasikan konsensus, dan kekerasan berlanjut, sementara utusan khusus ASEAN tidak diberi akses yang berarti di Myanmar.
Beberapa negara anggota ASEAN, seperti Indonesia dan Malaysia, lebih vokal dalam mengkritik tindakan militer Myanmar, sementara negara-negara seperti Thailand, Laos, dan Vietnam cenderung lebih berhati-hati dalam menanggapi, mengingat hubungan bilateral mereka dengan Myanmar. Ketidakmampuan ASEAN untuk mengambil tindakan yang lebih tegas mencerminkan tantangan besar dalam pendekatan konsensus dan prinsip non-intervensi yang menjadi dasar organisasi tersebut.
Respons Komunitas Global
Di tingkat internasional, respons terhadap krisis Myanmar bervariasi. Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, dan beberapa negara lainnya, telah mengutuk kudeta militer dan pelanggaran HAM yang terjadi setelahnya. Amerika Serikat, misalnya, menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap individu dan entitas yang terkait dengan militer Myanmar. Sanksi ini bertujuan untuk menekan militer agar menghentikan tindakan kekerasan dan mengembalikan pemerintahan sipil.
PBB juga mengeluarkan pernyataan yang mengutuk kekerasan dan menyerukan tindakan segera untuk mengatasi krisis. Dewan Keamanan PBB beberapa kali mengadakan pertemuan untuk membahas situasi di Myanmar, meskipun terdapat perbedaan pandangan antara anggota tetap Dewan Keamanan, terutama antara China dan Rusia yang cenderung lebih mendukung pendekatan non-intervensi dan menghormati kedaulatan Myanmar.
Di sisi lain, banyak negara-negara ASEAN yang lebih memilih pendekatan dialog dan penyelesaian internal untuk menghindari konfrontasi terbuka dengan militer Myanmar. Pendekatan ini juga tercermin dalam sikap beberapa negara anggota ASEAN yang menahan diri untuk mengambil langkah-langkah lebih drastis, seperti sanksi atau intervensi militer.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Tantangan utama dalam menanggapi krisis Myanmar adalah ketidakmampuan komunitas internasional untuk mencapai konsensus yang lebih kuat mengenai tindakan yang perlu diambil. Keterbatasan dalam merespons krisis ini tidak hanya terkait dengan ketegangan politik antar negara, tetapi juga dengan kompleksitas situasi internal Myanmar itu sendiri. Sementara negara-negara seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa menekankan perlunya sanksi dan isolasi internasional, ASEAN lebih cenderung mendekati solusi melalui dialog, meskipun ini terbukti kurang efektif dalam mengatasi pelanggaran HAM yang terus berlanjut.
Namun, ada harapan bahwa ASEAN dapat berperan lebih besar dalam mengatasi krisis ini jika negara-negara anggota dapat mengatasi perbedaan mereka dan bekerja sama dengan lebih tegas. Masyarakat internasional juga perlu mendukung upaya untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada korban, serta memastikan pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang terjadi.
Kesimpulannya, situasi HAM di Myanmar membutuhkan respons yang lebih kuat dan komprehensif dari ASEAN dan komunitas global. Walaupun ada beberapa langkah positif yang telah diambil, tantangan untuk menciptakan perubahan yang berarti bagi rakyat Myanmar masih besar. Dukungan terhadap hak asasi manusia dan pencapaian perdamaian yang berkelanjutan di Myanmar memerlukan kerja sama yang lebih erat dan ketegasan dalam menghadapi militer Myanmar yang terus memperburuk situasi.