Media sosial telah mengubah cara orang bekerja, berkarya, bahkan bertahan hidup. Salah satu tren yang tengah mencuri perhatian adalah fenomena mengemis online, di mana seseorang melakukan live streaming untuk meminta donasi dari penonton. Yang menarik, sebagian pelaku bahkan mengaku bahwa ini adalah profesi utama mereka. Hal ini pun menimbulkan pertanyaan besar: apakah mengemis digital kini dianggap sebagai profesi sah di era teknologi? Dan bagaimana pandangan psikolog tentang fenomena ini?
Dalam wawancara yang tersebar luas, beberapa pengemis online mengaku bisa mendapatkan jutaan rupiah hanya dari satu kali siaran langsung. Mereka menyusun cerita sedih, membangun suasana haru, bahkan menambahkan gimmick untuk memperkuat daya tarik. Dengan popularitas algoritma yang mendorong konten viral, tak heran bila aksi semacam ini cepat menyebar dan menuai reaksi beragam.
Psikolog sosial memandang fenomena ini sebagai bentuk adaptasi ekstrem terhadap tekanan ekonomi dan perubahan sosial. Menurut mereka, ketika seseorang merasa tidak memiliki keterampilan atau akses pada pekerjaan formal, media sosial menjadi alternatif yang menarik karena cepat dan minim modal. Namun, ketika aktivitas mengemis ini dikemas sebagai konten harian dan dilakukan secara profesional, muncullah konsekuensi psikologis yang perlu diperhatikan.
Pertama, ada risiko penurunan harga diri dan ketergantungan terhadap validasi eksternal. Ketika seseorang menggantungkan penghasilannya pada simpati penonton, maka ia akan cenderung membentuk kepribadian yang tidak otentik, demi mempertahankan “brand penderitaan” di mata publik. Ini bisa berdampak jangka panjang terhadap kesehatan mental.
Kedua, masyarakat yang terus-menerus terpapar konten mengemis online bisa mengalami kelelahan empati (empathy fatigue). Penonton menjadi jenuh dan curiga terhadap setiap konten yang menampilkan kesedihan atau kesulitan hidup. Hal ini justru bisa merugikan mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan.
Tak hanya dari sisi psikologis, pakar etika digital juga menyoroti bagaimana pengemis online “profesional” bisa mengaburkan batas antara kebutuhan dan manipulasi. Ketika rasa empati dijadikan strategi bisnis, maka nilai-nilai kemanusiaan bisa tereduksi menjadi sekadar alat monetisasi.
Sementara itu, pihak platform masih belum sepenuhnya menanggapi fenomena ini secara serius. Belum ada sistem yang memverifikasi apakah pengemis digital benar-benar berada dalam kondisi darurat, atau hanya memainkan peran untuk mendulang simpati. Jika tidak diatur, fenomena ini bisa menjadi lahan subur bagi eksploitasi emosional yang merusak ekosistem digital secara keseluruhan.
Di tengah maraknya pergeseran nilai ini, masyarakat dituntut untuk lebih cerdas dan selektif. Memberikan bantuan tetap penting, tetapi perlu dengan pertimbangan yang bijak. Sementara itu, edukasi digital tentang etika dan tanggung jawab bermedia sosial harus terus digalakkan.
Untuk insight terbaru tentang fenomena sosial di era digital, kunjungi https://beritahiburan.web.id/