Era digital telah membawa perubahan besar dalam cara masyarakat mengakses dan mendiskusikan isu-isu politik. Namun, di balik kemudahan dan kecepatan informasi, muncul fenomena yang mengkhawatirkan: polarisasi politik yang semakin tajam. Di Indonesia, polarisasi ini tampak nyata terutama dalam setiap momen pemilu, saat opini publik terpecah menjadi dua kutub ekstrem yang saling menyerang.
Media sosial menjadi ruang utama terjadinya polarisasi. Platform seperti Twitter, Facebook, dan TikTok sering dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi politik yang berlebihan, provokatif, bahkan palsu. Pengguna cenderung hanya mengikuti akun-akun yang sejalan dengan pandangan mereka, menciptakan gelembung informasi (echo chamber) yang menguatkan fanatisme dan menutup ruang dialog sehat.
Akibatnya, perbedaan pendapat yang seharusnya menjadi bagian dari demokrasi justru berubah menjadi konflik terbuka. Masyarakat bukan hanya berdebat soal kebijakan, tetapi mulai menyerang secara personal, membawa sentimen agama, ras, dan identitas. Polarisasi ini merusak kohesi sosial dan bisa berdampak pada stabilitas politik dalam jangka panjang.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di tingkat elite, tetapi juga meresap hingga ke akar rumput. Banyak keluarga dan komunitas retak hanya karena perbedaan pilihan politik. Ini menunjukkan bahwa polarisasi bukan sekadar isu elitisme, tetapi telah menjadi masalah sosial yang kompleks dan butuh penanganan serius.
Lalu, bagaimana solusinya?
Pertama, literasi digital menjadi kunci utama. Masyarakat harus dibekali kemampuan untuk menyaring informasi, memahami konteks politik, dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi manipulatif. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memperkuat kurikulum literasi media dan digital, terutama bagi generasi muda.
Kedua, peran media sangat krusial. Media independen seperti https://beritanegara.id/ dapat menjadi penyeimbang narasi politik yang ekstrem dengan menyajikan informasi yang netral, faktual, dan edukatif. Media harus berani menyuarakan kebenaran tanpa terjebak dalam polarisasi itu sendiri.
Ketiga, politisi dan tokoh publik juga harus bertanggung jawab. Mereka harus mengedepankan politik yang santun dan substansial, bukan hanya memanfaatkan sentimen demi suara. Kepemimpinan yang inklusif dan merangkul semua golongan adalah kunci untuk meredam ketegangan di masyarakat.
Keempat, masyarakat sipil harus terus aktif membangun ruang dialog yang sehat. Diskusi lintas kelompok, kampanye perdamaian, dan kolaborasi antar komunitas bisa menjadi penangkal polarisasi yang membelah.
Kesimpulannya, polarisasi politik di era digital adalah kenyataan yang tak bisa dihindari, namun bukan berarti tidak bisa dikendalikan. Dengan kerja sama seluruh elemen masyarakat, kita bisa menciptakan ruang publik digital yang sehat, produktif, dan mendukung demokrasi yang lebih matang. Indonesia butuh politik yang menyatukan, bukan yang memecah-belah.
সম্পাদক ও প্রকাশক:
অফিস ঠিকানা:
ই-মেইল:
মোবাইল:
Design & Development By HosterCubeনিউজ বিনা অনুমতিতে- কপি করা নিষেধ। Design & Development By HosterCube